AdvertorialKaltara

Arisan KTP di Tapal Batas: Perjuangan Warga Krayan Untuk Pulang Kampung

Dialektik.id – Menjelang perayaan Natal dan Tahun Baru, suasana mudik di kota besar terasa begitu mudah. Orang tinggal memesan tiket lewat ponsel, memilih jam keberangkatan, dan menunggu hari perjalanan. Namun jauh di pegunungan Krayan, di perbatasan Indonesia–Malaysia, cerita mudik menyimpan kenyataan yang jauh berbeda—lebih getir, lebih panjang, dan sering kali penuh harapan yang tertahan.

Di Bandara Juwata Tarakan, puluhan warga Krayan berkumpul membawa tas dan KTP. Identitas mereka dimasukkan ke dalam sebuah kardus bekas. Kardus itu dikocok, lalu satu per satu nama dipanggil. Mereka yang beruntung mendapat kesempatan pulang. Mereka yang tidak—harus menginap lebih lama di kota dan kembali menunggu kesempatan berikutnya.

“Inilah arisan KTP. Tradisi yang lahir dari keterpaksaan,” ucap Martinus Baru, tokoh masyarakat Krayan, dengan nada getir.

Krayan adalah wilayah yang seakan terpisah dari dunia luar. Tak ada jalan darat, tak ada akses selain pesawat perintis berkapasitas belasan orang. Dari 12 kursi yang tersedia, dua di antaranya selalu dicadangkan untuk keadaan darurat. Sepuluh kursi itulah yang diperebutkan puluhan orang yang rindu pulang.

Bagi mereka yang namanya tidak terambil dari kardus, ongkos hidup di Tarakan kembali membengkak. Jadwal pesawat hanya dua atau tiga kali seminggu, membuat ketidakpastian menjadi teman sehari-hari.

“Kalau tidak dapat, ya tunggu lagi. Kita tidak tahu kapan bisa pulang,” kata Martinus.

Banyak mahasiswa, pekerja, dan perantau Krayan yang akhirnya memilih mengurungkan niat untuk mudik. Mereka bukan hanya memikirkan tiket yang mahal, tetapi juga waktu berharga yang terbuang menunggu keberuntungan.

Martinus pun mengenang masa sebelum adanya sistem undian. Bahkan lebih kacau. Warga harus datang paling pagi—bahkan ada yang tidur di lantai bandara—demi memastikan diri menjadi yang pertama dilayani.

“Waktu itu benar-benar siapa cepat, dia dapat,” kenangnya.

Di tengah derasnya pembangunan dan konektivitas nasional, kisah warga Krayan adalah pengingat bahwa sebagian masyarakat masih harus bergantung pada keberuntungan selembar KTP untuk sekadar pulang kampung. Padahal kampung halaman mereka hanya berjarak beberapa kilometer dari Malaysia.

Warga Krayan tidak menuntut kemewahan. Mereka hanya ingin hal sederhana: hak untuk pulang dengan cara yang layak, sebagaimana warga Indonesia lainnya. (Dial/Chy)