Nasional

Batubara Ilegal Menantang Negara di Bawah Jembatan Kutai Lama

Suasana pemandangan dari atas jembatan Kutai lama dengan memperlihatkan aktivitas bongkar muat batu bara (Agt)

KUTAI KERTANEGARA – Negara seolah absen di bawah Jembatan Kutai Lama. Saat matahari merunduk di Sungai Mahakam, aktivitas pemuatan batubara ilegal justru berjalan penuh percaya diri. Tanpa sembunyi. Tanpa takut. Seakan hukum hanya papan nama yang tak lagi berlaku.

Di lokasi yang dikenal sebagai Jetty Ancu, dua tongkang merapat mengapit kapal tunda TB TOB 08. Dua excavator berwarnah hijau dan kuning terlihat bekerja tanpa henti, memindahkan batubara dari darat ke palka tongkang.

Aktivitas tersebut berlangsung sejak pagi hingga malam, tepat di jalur sungai yang dilintasi warga setiap hari.

Ironisnya, jetty ini tidak tercatat sebagai fasilitas bongkar muat resmi di Kementerian Perhubungan. Tak berizin, tak terdaftar, namun beroperasi secara terang-terangan pada Jumat, 19 Desember 2025. Tak satu pun aparat terlihat. Tak ada garis polisi. Tak ada penindakan.

Pemandangan ini bukan sekadar pelanggaran hukum. Ia adalah tamparan terbuka terhadap wibawa negara.

Selama hampir lima bulan terakhir, sejak akhir Juli 2025, aktivitas pertambangan ilegal di Kalimantan Timur nyaris senyap.

Operasi penertiban aparat membuat truk tambang menghilang, debu batubara tak lagi menyelimuti kampung, dan konflik warga mereda. Publik pun kembali percaya hukum akhirnya bekerja. Namun apa yang terjadi di Kutai Lama membuktikan sebaliknya.

“Kami pikir sudah ditutup permanen,” kata seorang warga yang menyaksikan langsung dari atas jembatan. Ia menolak namanya ditulis. “Ternyata cuma jeda. Sekarang mereka kembali, lebih berani.”

Keberanian itulah yang kini memunculkan satu pertanyaan krusial, siapa yang menjamin mereka aman untuk melakukan kegiatan yang diduga ilegal?

Di tengah warga dan mantan pelaku tambang ilegal, isu lama kembali mengemuka dugaan adanya oknum aparat dan elite tertentu yang menjadi pelindung.

Informasi yang beredar menyebut adanya jalur koordinasi yang dibuka kembali, melibatkan pihak yang disebut memiliki kedekatan dengan aparat penegak hukum di Kalimantan Timur.

Nama seorang buyer berinisial RN ikut disebut. Sosok ini diduga menjadi penghubung utama agar batubara ilegal kembali mengalir ke pasar.

Meski informasi ini belum terverifikasi secara independen, namun pola di lapangan berbicara lantang aktivitas ilegal yang berjalan terbuka hampir selalu menandakan adanya pembiaran atau perlindungan.

“Kalau tidak ada backing, mustahil mereka berani kerja siang-malam di bawah jembatan umum,” ujar warga lain dengan nada marah. “Ini bukan operasi sembunyi-sembunyi. Ini pamer kekuatan.”

Kondisi ini bertolak belakang dengan sikap Presiden Prabowo Subianto, yang berulang kali menegaskan bahwa negara tidak boleh kalah oleh tambang ilegal, pembalakan liar, dan penyelundupan.

Dalam berbagai pernyataan, Prabowo menekankan penegakan hukum tanpa pandang bulu. Namun di Kutai Lama, pidato itu terdengar kosong.

Jika benar aktivitas ini dibiarkan, maka masalahnya bukan lagi sekadar tambang ilegal, melainkan pembangkangan sistematis terhadap otoritas negara.

Lebih buruk lagi, ia mengindikasikan retaknya rantai komando penegakan hukum di mana pesan dari pusat berhenti sebelum menyentuh lapangan.

Kini sorotan tajam mengarah pada aparat penegak hukum. Publik menunggu apakah aktivitas di Jetty Ancu akan dihentikan, atau justru dibiarkan sampai batubara terakhir habis dimuat?

Di bawah Jembatan Kutai Lama, yang dipertaruhkan bukan hanya kerugian negara akibat batubara ilegal. Yang sedang diuji adalah keberanian negara menindak pelanggaran yang terjadi di depan mata atau mengakui bahwa hukum bisa dinegosiasikan oleh mereka yang punya jalur dan backing. (*/red/tim/cn/im)