Nasional

Taman Nasional Kayan Mentarang, Benteng Kehidupan di Jantung Kalimantan Utara

Keterangan Foto : Kepala TNKM, Seno Pramudito

MALINAU – Di tengah bentangan hutan tropis yang membelah perbatasan Indonesia dan Malaysia, Taman Nasional Kayan Mentarang (TNKM) berdiri sebagai salah satu benteng terakhir keanekaragaman hayati di Kalimantan Utara.

Dengan luas mencapai 1,27 juta hektare, kawasan ini menjadi paru-paru dunia yang menyimpan ribuan spesies flora dan fauna endemik, serta menjadi rumah bagi berbagai komunitas masyarakat adat.

Kepala TNKM, Seno Pramudito, menjelaskan bahwa kawasan ini memiliki tiga fungsi utama yaitu perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman hayati, dan pemanfaatan secara lestari melalui berbagai jasa lingkungan.

“TNKM bukan hanya kawasan konservasi, tetapi juga jantung kehidupan yang menopang ekosistem, budaya, dan ekonomi masyarakat adat di perbatasan,” jelas Seno.

Sebagai bagian dari Heart of Borneo (HoB) sebuah inisiatif konservasi lintas negara yang melibatkan Indonesia, Malaysia, dan Brunei, Seno, menerangkan, TNKM memainkan peran vital dalam menjaga kesinambungan ekosistem hutan hujan tropis.

Lanjutnya, Melalui upaya pemantapan kawasan, pengendalian kebakaran, konservasi spesies, hingga pemulihan ekosistem, TNKM menjadi garda depan dalam pelestarian sumber daya alam.

“Kami terus memperkuat tata kelola kawasan, melakukan monitoring keanekaragaman hayati, dan mendorong pemanfaatan jasa lingkungan seperti wisata alam dan karbon. Semua dilakukan dengan prinsip keberlanjutan,” terangnya.

Seno mengungkapkan, dari sisi ekologis, TNKM berfungsi sebagai penyeimbang iklim dan penyerap karbon alami yang membantu mengurangi dampak perubahan iklim global

Keterangan Foto : Keindahan salah satu titik lokasi yang ad di kawasan TNKM (Dok : TNKM)

Sementara dari sisi sosial dan budaya, Seno, menambahkan, kawasan ini memiliki arti mendalam bagi masyarakat adat yang telah lama hidup berdampingan dengan alam.

“Masyarakat adat bukan sekadar penyangga, tetapi mitra kami dalam menjaga hutan. Mereka ikut mengambil keputusan dalam pengelolaan kawasan,” ungkapnya.

Namun, di balik peran besar itu, Seno mengakui masih banyak tantangan yang dihadapi. Luasnya wilayah, keterbatasan akses transportasi, serta persoalan aktualisasi wilayah adat menjadi pekerjaan rumah bersama.

“Kendalanya bukan hanya soal luas kawasan, tetapi juga bagaimana memastikan pengelolaan kolaboratif benar-benar berjalan. Masyarakat adat harus merasakan manfaat ekonomi dari keberadaan taman nasional,” sebutnya.

Untuk itu, Kepala TNKM terus mendorong pengembangan usaha berbasis masyarakat adat agar potensi ekonomi kawasan dapat meningkat tanpa merusak kelestarian hutan.

“Kita ingin masyarakat menjadi pelaku utama dalam konservasi, bukan sekadar penerima dampak. Pengelolaan berbasis kearifan lokal adalah kunci keberlanjutan TNKM,” tegas Seno.

Dengan segala kekayaan hayati dan kultural yang dimilikinya, TNKM bukan hanya warisan Kalimantan Utara, tetapi juga warisan dunia simbol harmoni antara manusia dan alam yang harus dijaga bersama untuk generasi mendatang. (*/Red/Dia/Im)