MALINAU – Taman Nasional Kayan Mentarang (TNKM) di Kalimantan Utara tidak hanya menjadi kawasan konservasi terbesar di provinsi ini, tetapi juga menjadi rumah bagi keanekaragaman hayati dan kebudayaan yang hidup berdampingan.
Di balik keberhasilan menjaga kelestarian kawasan tersebut, ada peran besar masyarakat adat dan lembaga adat yang menjadi mitra utama dalam pengelolaannya.
Kepala Balai TNKM, Seno Pramudito, menjelaskan bahwa pengelolaan taman nasional dilakukan dengan pendekatan kolaboratif yang menempatkan masyarakat adat sebagai bagian penting dalam setiap proses.
“Kami tidak bisa bekerja sendiri. Pengelolaan kawasan dilakukan bersama masyarakat adat, mulai dari penyusunan zonasi hingga pengamanan dan perlindungan hutan. Mereka adalah bagian dari solusi, bukan sekadar penerima manfaat,” jelas Seno.
Seno menuturkan, salah satu wujud nyata keterlibatan masyarakat adat adalah dalam penyusunan dokumen zonasi pengelolaan taman nasional yang dilakukan melalui konsultasi publik bersama lembaga adat, pemerintah daerah, dan organisasi masyarakat sipil.
Selain itu, kelompok masyarakat juga aktif dalam kegiatan pengembangan wisata alam berbasis ekowisata, seperti di kawasan Padang Rumput Long Tua, Desa Apau Ping, Kecamatan Bahau Hulu.
Lanjut Seno, di kawasan ini, lembaga adat setempat bahkan telah menetapkan Peraturan Adat yang mengatur tata kelola ekowisata, larangan perburuan, serta ketentuan sanksi bagi pelanggar.
“Adat di sini tidak hanya menjaga nilai budaya, tetapi juga menjadi penjaga kelestarian kawasan konservasi. Kesadaran masyarakat adat untuk menjaga hutan sangat tinggi karena hutan adalah sumber kehidupan mereka,” ungkapnya.
TNKM merupakan kawasan konservasi yang menaungi 11 wilayah adat besar, termasuk berbagai suku Dayak yang ada di Malinau.
Hubungan yang dibangun antara pihak pengelola dan masyarakat tidak sekadar bersifat formal, tetapi didasarkan pada kepercayaan, dialog, dan kemitraan sejajar.
“Kami membangun komunikasi terbuka dan hubungan yang saling menghargai. Melalui pendekatan partisipatif, masyarakat bukan lagi objek, tetapi subjek dalam pengelolaan taman nasional,” terangnya.
Untuk memperkuat peran masyarakat, TNKM juga rutin melaksanakan program peningkatan kapasitas kelompok desa binaan, termasuk pembinaan dan bantuan langsung kepada kelompok yang berada di sekitar kawasan.
Selain itu, kerja sama juga dijalankan bersama Forum Musyawarah Masyarakat Adat (FOMMA) dan lembaga adat lainnya untuk memperkuat kemitraan konservasi.
Seno menegaskan, pola pengelolaan seperti ini bukan hanya menjaga keberlanjutan ekologi, tetapi juga memperkuat identitas dan peran masyarakat adat dalam menjaga warisan leluhur mereka.
“Konservasi tidak bisa dipisahkan dari manusia yang hidup di dalamnya. TNKM adalah contoh bahwa pelestarian alam dan pelestarian budaya bisa berjalan beriringan,” tutupnya. (*/Red/Dia/Im)
